Pemimpin Kafir
Baru-baru ini, Sang raja dangdut Rhoma Irama dipanggil oleh Panwaslu DKI Jakarta. Terkait dengan isi khutbahnya yang dipandang oleh salah satu jemaah mengandung unsur SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Ceramahnya disebut-sebut menyudutkan pasangan Jokowi-Ahok selaku kandidat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Dalam khutbahnya, Rhoma menjelaskan bagaimana memilih pemimpin dalam ajaran Islam. Ia menegaskan bahwa sebagai umat muslim adalah haram hukumnya memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Hal ini disampaikannya berdalilkan kalam Allah dalam surah An Nisa’ ayat 144 yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
Dalam bahasa Arab, kata wali di sini bermakna "teman yang akrab", juga bermakna ’pelindung atau penolong’. Seorang pemimpin merupakan pelindung dan penolong bagi rakyatnya.
Tokoh yang bernama asli Raden Oma Irama ini dikatakan melanggar UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pertama, Pasal 116 ayat 1 soal kampanye di luar jadwal. Kedua, Pasal 116 ayat 3 tentang penggunaan tempat ibadah untuk kampanye. Ketiga, Pasal 116 ayat 2 terkait menghasut menghina seseorang berkaitan dengan SARA. Jika terbukti bersalah, Rhoma bisa divonis hukuman penjara maksimal 18 bulan.
Terkait ayat 1 soal kampanye diluar jadwal, menurut pengakuan Rhoma ia bukanlah juru kampanye dari tim Fauzi Bowo. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak menerima sepeserpun dari tim kampanye tersebut. Imam Nahrawi, Sekretaris Jenderal DPP PKB, juga menambahkan bahwa kehadiran Rhoma Irama di Masjid Al Isra adalah dalam rangka safari Ramadhan, bukan dalam kapasitas sebagai tim sukses salah satu kandidat.
Adapun kampanye pemilu yang umum dilakukan biasanya paling tidak membawa nama partai, nama calon atau atribut-atribut kampanye. Faktanya dalam ceramah yang dipermasalahkan tersebut, toh tidak ada hal yang demikian. Jadi pada saat itu Rhoma tidak bisa dikatakan sedang berkampanye.
Adapun ceramah tarawih yang dimaksud, memang benar disampaikan di mesjid, yaitu di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada Minggu 29 Juli lalu. Terkait ayat 2 di atas, jelas Rhoma bukan menggunakan mesjid untuk berkampanye, melainkan untuk berdakwah.
Sebagaimana telah diketahui, isi ceramah beliau membahas tentang bagaimana memilih pemimpin dalam Islam. Beliau menyampaikan firman Allah yang melarang keras seorang muslim untuk memilih orang kafir sebagai pemimpinnya.
Dalam hal ini Rhoma Irama hanya menyampaikan risalah-Nya. Ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk itu. Karena akan menjadi dosa bagi orang-orang yang tahu jika tidak memberitahukan pada yang tidak tahu.
Pertanyaanya adalah, apakah jika seorang muballigh (pendakwah) berdakwah dan menyampaikan ajaran Allah di rumah Allah, merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum?
Terkait menghasut, menghina seseorang berkaitan dengan SARA seperti pada pasal 116 ayat 2 di atas, hingga kini belum dipastikan apakah benar dalam ceramahnya tersebut, ayah pedangdut Rhido Rhoma ini terang-terangan menghina seseorang yang disebutkan namanya secara jelas.
Saat ditemui di Gedung Panwaslu DKI Jakarta, Senin, (06/08) lalu, Rhoma menyatakan bahwa ia hanya ingin lebih terbuka. Seperti dikutip dari detik.com, " Makanya saya bilang, ini bukan unsur SARA. Kalau saya mengatakan Jokowi itu Jawa agama Islam, Fauzi Bowo sukunya betawi, Islam, Ahok kan China dan Nasrani, itu dalam rangka keterbukaan. Ini saya rasa bukan SARA. Karena rakyat perlu tahu, ini era keterbukaan."
Namun Rhoma menegaskan bahwa ia tidak pernah menjelek-jelekkan pasangan Jokowi-Ahok. Ia bahkan sangat menghormati mereka. Tetapi jika urusan memilih pemimpin, Ia tetap tidak akan memilih pemimpin yang tak seiman.
Siapakah orang-orang kafir itu?
Kata "kafir" yang kontroversial ini, sebagaimana yang telah dihimpun oleh penulis dari berbagai sumber, didefinisikan dalam banyak makna.
Seperti disebutkan dalam indonesia.faithfreedom.org/wiki. Ditinjau dari segi bahasa, kata kafir tidak selamanya berarti non-muslim, karena ada penggunaan kata kafir atau pecahan dari kata kafir seperti kufur, yang bermakna ingkar saja, tidak sampai mengeluarkan seseorang dari keislaman. Contohnya kufur nikmat, yaitu orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah. Atau dalam istilah lain disebut sebagai kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak sampai membawa pelakunya kafir/keluar dari Islam).
Dari segi istilah, kafir adalah orang yang mengingkari, menentang dan menolak kebenaran dari Allah Swt yang di sampaikan oleh Rasul-Nya. Sejalan dengan defenisi dari KBBI, yaitu orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini kafir berarti non-muslim. Jadi kata "kafir" yang selama ini kerap berdengung, bukan identik dengan penghinaan, melainkan lebih kepada pembedaan dari kaum muslim.
Dalam Alquran sendiri, penjelasan tentang kafir pun beragam. Seperti dalam penggalan surah Al-Ma’idah ayat 44, "...Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." Dalam konteks ini kafir dapat berarti tidak hanya non-muslim saja.
Sedangkan firman Allah dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6, jelas-jelas m ditegaskan bahwa non-muslim adalah kafir.
"Katakanlah, ’Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.’"
Orang-orang kafir adalah musuh Allah
"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir." (Q.S Al-Baqarah ayat 98)
Adakah kita berani menjadi musuh Allah Sang Maha Pencipta? Mengikuti perintah-Nya saja pun kita masih keteteran. Alangkah ngerinya jika kita terang-terangan mendeklarasikan diri menjadi musuh-Nya.
Umat Islam diperintahkan untuk selalu menghormati agama apapun. Namun dalam konteks memilih pemimpin Allah melarang dengan tegas untuk memilih yang tidak seiman.
Yang jelas sebagai pribadi muslim, setiap orang yang beragama Islam adalah wajib hukumnya menjalankan syariat Islam. Karena hal tersebut adalah perintah Allah swt. Melanggar syariat Islam berarti melanggar perintah-Nya. Dalam hal berpendapat, negara kita membebaskan aspirasi rakyatnya, namun dalam hal syariat Islam tidak ada tawar-menawar.
Dalam hal ini Rhoma Irama hanya menyampaikan Ayat-ayat Allah. Telah ia paparkan penjelasannya. Selanjutnya kembali pada pribadi kita masing-masing.
Hukum yang dibuat manusia tentunya tidak bisa dibandingkan dengan hukum yang dibuat oleh pencipta manusia. Jika undang-undang Pemilu tidak sejalan dengan undang-undang Allah, maka kembali lagi kepada kita. Apakah kita akan memilih taat pada perintah Allah, atau mengingkari perintah-Nya dengan segala konsekwensinya di dunia dan di akhirat.
Wallahua’lam bi Shawab.
Penulis aktif di Forum Lingkar Pena Sumatera Utara (FLP-SU)
Dimuat dalam Mimbar Islam, Harian Analisa, Jum'at 10 Agustus 2012
0 comments:
Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan Jejak ya ^_^