Ada Apa denganku?(part 1)
Sebulan atau hampir dua bulan
belakangan ini, ku merasa ada yang salah denganku. Sesuatu serasa membuatku
tertekan, gelisah, tak nyaman, tak puas (yang ini mungkin tak begitu pas
gambarannya), kesal, sebal, gondok, benci (yang baru akhir-akhir ini kusadari),
jijik (kau tau apa yang kubayangkan sebelum aku memutuskan untuk menuliskan
kata ini? Akan kubahas nanti), muak, bosan, hmm apa lagi ya..., pokoknya
perasaan yang berpotensi membuat mood jadi jelek. Kalau ”galau”...bisa
iya bisa enggak. But I know that I AM depressed.
Well, let’s start to analyze it.
Pertanyaan pertama pertama dan
utamanya adalah, apakah aku benar-benar tertekan? Well, aku bisa pastikan jawabannya ”iya” lalu, kenapa aku tertekan
atau dengan redaksi kata yang berbeda, apa yang membuatku tertekan? Hmm..hal
pertama yang muncul dari pertanyaan ini adalah seseorang dan bukan sesuatu. Mungkin
karena
sudah akut dengan rasa yang bernama ”benci” dengan orang ini. Mendengar
namanya saja membuatku ingin marah seketika. Bukankah ini gawat namanya? Yah,
walaupun aku telah berusaha sekuat tenaga (apa iya) untuk menghilangkan rasa
ini but, it seemed that everything I did
just didn’t work. Rasa benci itu
tetap saja bertengger angkuh di bagian hati yang tak kutahu di mana letak
istananya. (but ”look at the bright side”,
kata Gordo dalam Lizzie McGuirre, setidaknya aku tidak (mungkin belum)
menumpahkan rasa benciku dalam bentuk kemarahan pada Si orang ini –Atau haruskah kusebut dia ”Si nenek sihir” atau ”ular
kepala dua”, ”musang berbulu ayam”, ”serigala berbulu domba” atau apalah,
karena kurasa dan kupikir sangat cocok).
”Melihat wajahnya, mendengar suaranya, tersebut namanya....benci”
Potongan lagu Maidani ini pas sekali. Lebih pas
lagi jika ditambah ”teringat tingkahnya, jijik”. Benar-benar disgusting, alias menjijikkan. Teringat akan
kuis kepribadian yang pernah kuberikan, dan jawabannya tentang penggambaran
dirinya sendiri tepat sekali dengan yang kurasakan padanya saat ini. Instruksi
kuisnya adalah untuk menggambarkan dengan
satu kata sifat untuk ”ANJING”. Dalam psikologi ”anjing” dilambangkan sebagai
kepribadian diri kita. Dan ia mengejutkanku dengan jawaban spontannya, ”MENJIJIKKAN”
Awalnya aku percaya bahwa jawabannya ini termasuk yang tidak sesuai, karena
tidak jarang hasil dari kuis ini tidak sesuai dengan kenyataannya (walau
sebagian besar kenyataan untuk pertanyaan yang satu ini benar adanya). Yah,
pada waktu itu aku masih belum benar-benar mengenalnya. But, hah.. It’s true that everything is revealed by the time passed.
Kita tentu familiar dengan istilah NATO alias no action, talk only. Tapi
aku kurang setuju jika istilah ini disandingkan dengannya. Karena ia lebih parah
dari ini, yah kurang sesuai lah menurutku. Si
orang satu ini tak henti-hentinya bicara
dan mengkritik akan tanggung jawab dan kewajiban yang tak dijalankan. Dalam
hal ini semua pemeran mempunyai peran, kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Tak
salah memang yang dikritiknya, karena memang ia mengkritik yang salah. Tapi tidakkah
ia sadar akan tanggung jawab dan kewajiban yang TIDAK dilaksanakannya? Bahkan ia
lebih parah dari yang selalu dikritiknya sana-sini. (Dengan tidak mengurangi
esensi penilaian, kalian boleh yakin akan penilaianku ini, karena ini bukan
subjektif. Penilaian ini murni objektif. Dan hasil yang sama juga disumbangkan
oleh para pemeran yang lain). Hal ini bukan sekali dua kali ia lakukan. Dari hasil
pengamatanku (yah, beginilah memang alaminya orang-orang pleghmatis), Si orang satu
ini SELALU mengulangi hal yang sama. Di mana kah sebenarnya otaknya?
Dimanakah sebenarnya hatinya? Tak adakah perasaanya? Tak pernahkah ia merasa
sedikit pun atau sekali pun bersalah?
Pernah suatu kali
(mungkin dua atau tiga kali) kami
berdiskusi tentang masalah ini padanya. Oh, ternyata ia menyadarinya, tapi ia
tak merasa bersalah sedikitpun. Dia bahkan bangga dengan alasannya. Dan kau
tahu apa itu, ”tak ada waktu” katanya. Maksudnya ia menyalahkan ”waktu” nya
yang tak cukup sempat untuk melaksanakan kewajibannya, karena jam terbangnya
padat. Omong kosong! Buktinya dua kali hari libur yang bertepatan dengan
jadwalnya (dengan kata lain, jam terbangnya kosong hari itu), hal yang sama
tetap saja berulang, tidak ada perubahan apalagi peningkatan. Omong Doang.
Omong Gede. Besides, bukankah dia sering
(dalam kritikannya) memberikan solusi untuk para pelalai tanggung jawab yang
mengkambing hitamkan ”waktu”. Jadi kenapa dia tak melaksanakan idenya itu. Apa
namanya kalau bukan TONG KOSONG NYARING BUNYINYA.
Masih berhubungan dengan Si orang satu ini. Sesuatu yang lain
yang juga menempati peringkat teratas penyebab ketertekananku. Keegoisannya. Mungkin
aku tidak termasuk atau jarang termasuk sebagai korban keegoisannya secara
langsung, (karena aku tak ingin dimanipulasi dan dirong-rong olehnya yang akan
membuatku makin tertekan dan stres. Walau kadang aku kena juga.), tapi akua
adalah korban tak langsungnya yang juga ternyata cukup signifikan dalam
penyumbangan tingkat ketertekananku. Omelan, kata-kata, kritikan, otoritas, dan
hal-hal yang berhubungan dengan keegoisannya yang dia lontarkan pada ”pemeran”
yang lain (bukan aku) selalu menggangguku. Aku benar-benar tidak tahan dengan
aksinya yang seolah-olah memamerkan otoritasnya tanpa ia menyadarinya,
seolah-olah ia maha benar dan orang lain salah, padahal ia tak menyadari betapa
tidak sesuainya ucapan dan perbuatannya.
Ckckck, Ternyata banyak hal
tentangnya yang membuatku tertekan. Belum lagi tentang hal-hal yang ku rasa
menjijikkan tentangnya. Uhhh. Mungkin sulit bagimu membayangkannya jika
kukatakan ia adalah orang yang ”jorok dalam kebersihannya”. Aku yakin semua
orang yang mengenal sedikit ataupun banyak tentangnya pasti akan
menyimpulkannya sebagai seorang yang pembersih. Aku juga tak menyangkal hal itu
tentangnya. Tapi banyak hal akannya yang sangat bertentangan dengan sifat
pembersihnya itu. (Well, may be it’s
only ME noticed). Aku sendiri pun heran dengan kesimpulanku ini. Tapi aku setuju bahwa Si orang satu ini adalah jorok.
Contohnya kata-kata yang
sering ia ucapkan. Eits, jangan berprasangka buruk dulu. Ia bukan orang yang
sering mengeluarkan kata-kata kotor, atau makian seperti inang-inang di pasar,
atau seperti preman-preman jalanan, atau anak-anak malang yang terkesan tidak
punya sopan santun. Tata bahasanya malah cukup manis dan sopan. Bahkan aku
sendiripun tak bisa menggambarkan bagian
mana yang jorok. (Kau pun pasti bingung sekarang). Namun tak jarang ia akan
memproduksi kalimat yang kukatakan jorok (jorok
yang kumaksud juga bukan tentang pornografi, lho). Dan luar biasanya
lagi, kamusnya seakan tak pernah habis untuk merangkai kata dan kalimat macam
itu.Walau tidak selalu, tapi cukup sering cara penyampaian, ekspresi dan bahasa
tubuh yang terbawa bersama kata-kata nya ini membuatnya terdengar, terasa,
tercium, dan terindera semakin dapat feel
”jorok”-nya. Dan yang jelas aku tak akan mau mengulangi atau meniru kata-kata
ataupun kalimatnya yang kuanggap jorok. Bahkan menuliskannya pun tidak. Kuharap
suatu hari nanti aku bisa menjelaskannya padamu tanpa harus meng-copy paste
ucapannya sehingga kau mengerti apa yang kumaksud dan kurasakan.
Bukti lain bahwa ia ”jorok
dalam kebersihannya” adalah tingkah dan lakunya. Seperti yang kujelaskan tadi,
ia jorok dalam kebersihannya, sehingga tak akan ada orang yang percaya jika
kukatakan demikian, kecuali ia benar-benar hidup bersamanya dan
memperhatikannya benar-benar. Terserah pada kalian jika menganggapku subjektif,
karena ini memang menurut pandangan dan pengamatanku (mungkin sedikit tercemari
dengan rasa jijikku. Tapi yakinlah rasa benciku ini terbentuk karena rasa
jijikku telah mampat, dan membuncah. Oke,
back to the topic. Ia adalah seorang yang pembersih (sepertinya telah
sejuta kali kutuliskan), namun hanya untuk dirinya sendiri saja, untuk
barang-barangnya sendiri saja (mungkin juga untuk keluarganya sendiri), tapi
tidak untuk teman-temannya, tidak untuk orang-orang yang dekat dengannya
(selain keluarganya, dalam hal ini keluarga kandung), tidak untuk orang-orang
yang tinggal bersamanya (sekali lagi bukan ”kandung”). Lagi-lagi aku heran
dengan yang ku tuliskan ini, tapi tak akan ku sangkal karena ini benar. (Dan ku
yakin kau pasti bingung lagi, bukan?)
Baiklah agar kau tak terlalu
bingung, biar kuberikan sedikit ilustrasi. Anggaplah kau kini sedang tinggal
dalam satu rumah sewa, di mana ada empat orang yang menghuninya, semuanya
adalah teman-teman baikmu dengan stambuk yang berbeda yang kau kenal di kampusmu
. Kalian telah tinggal bertahun-tahun sehingga mengenal kepribadian
masing-masing. Kau paham benar apa perangai-perangai teman-temanmu, baik dan
buruknya. Dan salah satu dari
temanmu mempunyai mempunyai perangai seperti Si orang satu ini. Semua barang-barangnya rapi dan bersih, baik
pakaiannya, lemarinya, bukunya, rak sepatunya, pokoknya semua barang di bawah
kepemilikannya benar-benar tertata dan terawat dengan baik. Nah, di dalam rumah kalian ada barang
milik bersama atau barang yang digunakan bersama-sama (bisa jadi milik satu
orang tapi bukan miliknya). Nah, Si orang
satu ini tadi tidak akan memperlakukannya seperti barang miliknya dalam hal
”perawatan dan pemeliharaan”. Ia hanya tahu barang itu milik bersama dan ia
punya hak untuk menggunakannya. Namun ia tak peduli soal pemeliharan dan kebersihan barang itu. Nah
dari sini, ia adalah orang yang sadar betul akan haknya, namun ia tak merasa ada
kewajiban sedikitpun dalam hal pemeliharaan dan perawatan.
Nah, dalam ilustrasi yang
lain, bayangkan keadaan kamarnya. Tempat itu akan sangat bersih dan rapi. Yah, tentu
saja ada sentuhan pribadi di sana, privasi. Namun bagian dari rumah bukan hanya
kamar saja, bukan? Ada tempat lain yang digunakan bersama, seperti ruang tamu,
dapur dan kamar mandi misalnya. Nah, ruangan yang digunakan bersama-sama ini
sama nasibnya dengan barang yang digunakan bersama tadi dalam hal perawatan dan
kebersihannya.
Cukup banyak orang yang
mempunyai rasa jijik akan sesuatu (kalau dalam bahasa ku ”gilo”), misalnya seorang anak perempuan yang merasa jijik ketika
melihat cacing yang menggeliat di tanah, atau seorang lelaki yang tak sanggup
melihat darah. Perasaan seperti itu lebih dekat dengan perasaan takut
menurutku, walau tidak seperti takut mati, tapi yah, nilai takutnya pasti cukup
besar dalam kasus ini. Ilustrasi yang kuberikan kali ini adalah dengan maksud
menganalogikan hal di atas dengan kejijikan seseorang dalam hal membersihkan
kamar mandi dan toilet, membuang sampah yang telah menumpuk di keranjang
sampah, atau hal-hal lain yang mengandung esensi ”kotor”. Tapi, coba pikirkan, apakah
rasa jijik melihat cacing seimbang jika di analogikan dengan kejijikan
seseorang untuk membuang sampah yang telah menumpuk di keranjang sampah ke
tempat pembuangannya yang lain? Apakah pantas jika kejijikan seseorang melihat
darah dianalogikan dengan kejijikan seseorang untuk membersihkan toilet dan
kamar mandi? Aku rasa dan aku pikir tidak pantas.
Rasa jijik akan cacing dan darah bisa kita maklumi (mungkin) karena
kita jarang berinteraksi dengan hal yang tersebut. Lagi pula secara psikologi,
manusia cenderung akan menghindari sebisa mungkin atas hal-hal yang membuatnya
jijik. Namun apakah kita menghindari kamar mandi, toilet, dan keranjang sampah
dalam hidup kita sehari-hari? Tentu tidak, kita bahkan berinteraksi dengan
tempat-tempat ini, dan kita tak bisa hidup tanpanya. Lain halnya dengan cacing
dan darah tadi, kita malah bisa hidup lebih tenang jika tidak berinteraksi
dengan hal-hal itu, bukan? Dan bukankah kebersihan itu sebagian dari pada iman?
Dan juga aku yakin bahwa kebersihan yang dimaksud bukan hanya kebersihan area
pribadi saja, tapi juga lingkungan sekitar. Bukan hanya pribadi saja, tapi juga
jiwa. (Lalu, apakah rumah tempat kita tinggal (walau dimiliki bersama) tidak
termasuk area pribadi?)
Hmm, cukup panjang ternyata
analisis akan pertanyaan pertama. Dan anehnya ada rasa lega yang kurasa setelah
menuangkannya dalam tulisan ini. Kalian mungkin merasa ini adalah penumpahan
rasa marah, tapi jangan khawatir, karena itu tidak salah. Hmm..What a relief. Baiklah pertanyaan
selanjutnya kan ku bahas pada lain kesempatan. See You Soon .^_^
0 comments:
Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan Jejak ya ^_^