Resign?
Pastilah aku cukup tersentuh, terharu, bangga, bahagia dan segala nama unsur melankolis yang ada, sehingga kutuliskan sebagian mozaik hidupku hari ini. Sangking terbawa perasaannya, tak henti-hentinya ku tersenyum sepanjang jalan pulang ke asrama. Apa pasal? Yang jelas tidak tercantum di Pembukaan UUD 1945.
Biang keroknya adalah karena gaji bulananku terlambat dibayarkan. (Walaupun lebih tepatnya terlambat diambil, karena selama dua bulan ini belum pernah Mrs. Stiff terlambat memberikan hak para pengajar, always on time malah. Namun karena nomorku tidak bisa dihubungi, jadilah info mengenai si ”hak” ini simpang-siur. Alhasil, mandeg lah jatahku di awal bulan ini). Dan sore tadi, tepatnya seminggu setelah jadwal dapat pesangon, barulah kuterima hak yang tertunda.
Tangan kanan Mrs. Stiff (aku menjulukinya ”stiff” yang artinya ”kaku” karena ia memang orang yang sangat kaku menurutku dalam sistem kursusnya ini. Terutama metode mengajarnya dimana murid harus ”hapal mati” vocabulary di depan kelas, menerjemahkan kalimat dalam buku dari Inggris ke Indonesia, lalu mengerjakan latihan yang ada di buku. Dan langkah yang sama terus diulang setiap pertemuannya. Yang paling parah adalah, beliau ini mengharuskan staf pengajar yang lain menjalankan metodenya ini, harus persis sama tidak boleh tidak. Jujur, aku saja mendengarnya bosan, apalagi murid-murid malang korban kekakuannya. Inilah alasan utamaku ingin cepat-cepat angkat kaki di semester depan. Jiwa bebasku pasti berontak dikekang aturan begituan. Lagi pula setiap orang punya cara mengajar yang berbeda. Dan tanpa sepengetahuannya aku membelok dari aturannya.), Ms. Rachel, menghampiriku yang sedang duduk bersama dua muridku, dengan sebuah amplop di tangannya.
Ia tersenyum ketika menyapaku, sembari menyerahkan amplop tersebut. Tak lupa ia meminta maaf atas keterlambatan tersebut. (Well, ia tak seharusnya minta maaf, sebab ia tak bersalah. Aku malah. Tapi karena sudah keduluan, ya sudahlah).
“Oh, It’s OK...It’s Ok” balasku atas permohonan maafnya. Ia pun berlalu, dan ku masukkan amplop itu ke dalam ransel. Akhirnya gajian juga.
Tanpa ku sadari dua pasang mata disamping kanan dan kiriku ternyata mengamati gerak-gerikku.
Yang seorang mendekatiku dan bertanya dengan mimik sangat serius. Entah karena ia salah menagkap pembicaraan kami barusan (karena sesama pengajar berinteraksi full English), terutama bagian saat ku mengatakan ’It’s OK’, ditambah salah mengartikan adegan pemberian amplop tadi, namun pertanyaanya benar-benar membuatku terbengong beberapa saat.
”Miss, itu tadi maksudnya apa, Miss? Miss, minggu depan nggak masuk lagi ya, Miss?” wajahnya cemas.
Hah?
Belum sempat kutersadar dari keterbengonganku, yang seorang lagi ikut nimbrung.
”Miss, masih masuk kan, Miss? Aih, jangan pergi lah Miss. Ya, Miss ya?” yang satu ini pasang wajah memelas.
”Gak enak lah kalau nggak sama Miss lagi.” Si wajah cemas makin cemas.
Hampir saja ku terbahak saat itu. Habisnya tak kusangka mereka begitu perhatian padaku, dan sangking perhatiannya sampai salah paham begitu. Emang dikira mereka kejadian pemberian amplop dan ucapan minta maaf itu adegan pemecatan apa? Kalau pun ada pasti aku yang mengundurkan diri. I am not qualified to be fired. Well, you are the one in a great regret if you do so. Tapi disaat yang sama kumerasa tersanjung. Sangat tersanjung. Ternyata murid-muridku ini sangat menyayangiku sampai tak mau kehilanganku dari kehidupan kursusnya. (Lebai memang, tapi fakta berbicara demikian sobat @_@).
Masih ingin mabuk dalam sensasi ketersanjungan dan kebanggaan, tak begitu ku acuhkan pertanyaan-pertanyaan mereka seputar prasangkanya. Kuberi saja kesan seolah itu memang hari terakhirku mengajari mereka. Dan tak lupa sesekali kupancing juga kecemasan mereka, tentang mengapa tak menyenagkan jika tak belajar bersama pengajar selain aku. Dan jadilah teori perbandingan menempatkan posisiku di atas angin, tak terkalahkan, tak tergantikan. Ujung-ujungnya bujukan agar aku tidak meninggalkan mereka pun mengudara lagi. Tampangku boleh acuh pada wajah memelas meraka, namun hatiku melayang-layang rasanya. (Itulah pertama kalinya kusetujui bahwa jaim itu sangat menyenangkan).
Sepanjang jalan menuju asrama senyumku bersemi tak putus-putus. Tak peduli pada pemikiran setiap orang yang berpaprasan denganku. Sepeda motorku terus meliuk di gang-gang sempit itu. Mau mereka bilang kurang waras, atau gila sekalipun masa bodoh. Yang jelas aku sedang bahagia.
Catatan dialog, prolog, pertentangan, analisis, dan pembelaan sang hati.
Kebanyakan sarjana mengambil suatu pekerjaan karena melihat income dan prospek masa depannya. Jika gaji yang didapat kira-kira tidak lepas makan alias lepas ongkos saja, pasti akan pikir tiga, empat, atau lima kali sebelum menerima job tersebut. Dan berlomba-lomba mendaftar dan belajar mati-matian agar bisa diterima di dunia kerja yang prospek masa depannya bagus, apa lagi jika si pensiun punya cukup panjang kaki untuk menunjang, eh..maksudnya ada tunjangan pensiunnya.
Bukan bermaksud menyombongkan diri, siapa sih yang tidak mau bergaji besar, mapan, terjamin dan terpandang oleh pekerjaanya? Hanya saja semenjak selesai PPL aku kurang tertarik pada pekerjaan yang menarik buat kebayakan orang (berarti masih ada tertariknya tho). Justru lebih mencari suatu kegiatan atau pekerjaan yang di dalamnya aku merasa nyaman melakukannya. Tidak ada beban dalam menjalankannya (Tapi bukan berarti tidak ada tekanannya lho).
Tak peduli jika hanya lepas makan dan ongkos. Asalkan ada kepuasan batin dalam menjalankannya. Memang tidak bisa berharap untuk hidup mewah, apa lagi saat pertama kali dijalankan. Tapi seiring waktu, dan konsistensi untuk maju, bayi juga tumbuh jadi orang dewasa kan? So, kenapa mesti takut untuk mencoba? Toh, pengalaman bertambah. Nothing to lose. Selain itu pepatah Man Shabara Zhafira juga telah berulang kali menunjukkan keampuhannya dibanyak mozaik hidupku. (Well, hatiku berdialog sendiri).
Masahnya sekarang ini aku hampir berada di persimpangan. Dua profesi yang sama-sama membuatku nyaman. Sejauh ini mereka dapat melaju di rel yang sama. Tapi tak selamanya kubisa menutup mata akan persimpangan yang semakin dekat.
Kalaulah kuteruskan profesiku yang satu ini, mungkin aku baru saja membuang kesempatan yang lebih besar datang menyapa takdirku, kesempatan yang bisa membawaku mencapai impianku keliling dunia, yah, kesempatan yang ada diprofesiku yang satu lagi. Dilain sisi, jika ku tinggalkan profesiku yang satu ini dan kufokuskan pada profesiku yang satu lagi, pada kesempatan itu, berarti aku akan mematahkan hatiku dan hati para murid yang mencintaiku. dan tahukah kah kau, aku telah lelah berpatah hati. Hmm..waktu yang tersisa untukku berfikir dan memutuskan tidaklah banyak. Life is choice. So what do I do?
Lanjutannya mis?
BalasHapus